Aku lahir dari rahim malam yang
menyelusuri lorong kegelapan sebuah vagina . Hasil persenggamaan penis
yang menyemburkan jutaan sperma ranggas yang berlomba menuju sebuah ovum
matang. Spermatozoa gesit seperti kecebong pertama kali meretakkan
kulit ovum seperti sebuah sendok mengetuk kulit telor setengah matang.
Spermatozoa itu menyatu terkocok dengan ovum seperti adonan kue bolu
yang mengembang tanpa membutuhkan tambahan maizena, mentega cair atau
vanili. Sungguh adonan yang mengembang sempurna. Lalu adonan itu matang
di dalam oven hangat yang disebut rahim. Maka namaku bukan lagi
‘adonan’. Tetapi disebut zygot.
Sebagai zygot muda, aku mengikuti semua gerak dinamis tubuh ibuku. Aku
menyerap semua inti sari hidup darinya. Tetapi aku kerap mengisap
sari-sari getir yang mengalir dari aorta darahnya, dari denyut
jantungnya, dari kemarahannya yang menggumpal di hulu hati. Waktu terus
membentukku menjadi embrio. Hampir lengkap anatomi tubuhku sehingga aku
bukan sekedar bisa merasa. Tetapi juga mendengar segala sumpah serapah
dan perdebatan yang ternyata kemudian berakhir dengan isak. Kurasakan
isak itu lebih menyakitkan daripada jeritan.
Bila jeritan
adalah kawah bergejolak yang kemudian meletus dan menyembur. Tetapi isak
hanya seperti kepundan magma menggelegak yang menyesakkan. Siapa yang
bisa tahan?“Kamu bodoh! Bego! Tolol! Goblok!”
“Kamu dungu! Bebal!”
“Kamu anjing!”
Oh!
“Kamu kambing!”
Ah...
Maka aku bertanya kepada ari-ari yang menjadi kembaranku.
“Apakah ibu kita putri Dayang Sumbi yang begitu malas mengambil alat
tenunnya yang terjatuh sehingga kawin dengan si Tumang, anjing dewa yang
terkena supata?” Ari-ariku menjawab, “bukan. Ibu kita bukan Dayang
Sumbi yang mengawini anjing. Justru ibu kita adalah anjing yang setia
mengiringi gembala yang menggembalakan kambingnya. Dan salah satu
kambing gembala itulah bapak kita. Dia adalah kambing paling bebal dan
dungu. Ditarik kepalanya ia justru berjalan mundur, tetapi didorong
untuk mundur, ia malah berjalan maju.” Aku takut, akan menjadi embrio
macam apakah aku bila ibuku anjing dan bapakku kambing?
Si ari-ari seakan-akan tahu ketakutanku. Bukankah kami memang satu
rasa. Maka ia berkata “lima belas tahun yang lalu aku adalah ari-ari
seorang anak yang lumpuh dan bisu. Ia hasil persenggamaan dari bapak
yang bisu dan ibu yang lumpuh. Di kampung itu, semua orang kasihan
kepada si perempuan lumpuh itu dan berusaha mencarikan jodoh. Maka
dijodohkannyalah dengan laki-laki bisu itu. Laki-laki bisu itu adalah
seorang juru masak. Orang-orang berpikir, biar pun bisu, ia bisa bekerja
mencari uang, dan dengan memiliki seorang istri, ia akan mendapatkan
keturunan. Semoga anak mereka berdua terlahir sempurna dan bisa
menjadi sandaran hari tua. Tetapi entah kutuk apa yang menimpa. Tidak
tahu karma apa yang berbuah. Anak mereka lumpuh sekaligus bisu. Sampai
usia belasan tahun tidak bisa bicara dan tidak bisa berjalan. Karena
ibunya lumpuh, tidak bisa mengurusnya dengan leluasa, maka agar tidak
merepotkan, orang-orang kampung membuatkan celana yang robek di bagian
pantatnya. Jadi bila ia ingin berak, kotorannya akan keluar sendiri dari
bagian yang sobek itu tanpa perlu repot berganti-ganti celana. Setiap
hari ia tetap bermain di tanah kotor dengan pantat melekat di tanah
bercampur kotoran yang belum dibersihkan. Bahkan kadang, saat tidur pun,
ia cuma dipindahkan ke balai-balai, saat ayahnya pulang
kecapekan.”
“Anak
itu mahir meludahi orang. Karena hampir semua orang kampung
mengolok-oloknya. Orang-orang kampung menghinanya karena dia tidak bisa
bicara dan cuma bisa merangkak. Tidak ada satu pun anak-anak seusianya
mau bermain dengannya. Kalau pun ada, juga hanya sekedar mengejeknya dan
melemparinya dengan kerikil. Terkadang ada tetangga memberinya nasi
sisa. Tetapi lebih banyak bukan karena kasihan tetapi karena
menghinanya. Dia bukan anak dewa. Jadi sudah tentu dia bisa marah.
Tetapi ia tidak bisa bicara. Maka ia mulai belajar meludahi orang-orang
yang mengejeknya dengan mata seperti bara. Ia meludahi anak-anak yang
melemparinya dan orang-orang yang menertawakannya, juga meludahi nasi
sisa yang diberikan untuknya. Semakin lama ia semakin pandai meludah. Ia
bisa meludah cukup jauh dan mengenai tubuh orang yang dijadikannya
sasaran. Maka orang-orang semakin mempermainkannya. Orang-orang
mengejeknya, lalu lari untuk mengukur kemampuannya meludahnya sampai
sejauh mana.”
“Suatu hari,
seorang gadis lewat di kampung itu dan melihatnya. Ia berbelas iba dan
memberikan uang jajan untuk membeli kue atau permen. Tetapi karena sudah
terbiasa dihina maka ketika gadis itu mendekatinya, ia langsung
meludahi gadis itu. Gadis itu terperanjat dan melompat mundur. Serentak
orang-orang kampung yang duduk-duduk hendak memukuli anak itu. Tetapi si
gadis mencegahnya. Akhirnya orang-orang kampung memaki-makinya sebagai
anak bisu lumpuh yang tidak tahu diri.”
“Anak
itu menangis dan berkata kepadaku bahwa ia sangat tahu diri. Yang tidak
tahu diri adalah orang-orang kampung yang menghinanya. Ia tahu bahwa ia
bisu dan lumpuh. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya juga sepasang manusia
cacat. Tetapi apakah ia bisa memilih ia akan menjadi apa dan harus lahir
seperti apa? Lalu ia berkata, kalau ia boleh memilih, ia ingin menjadi
anak gadis itu di kelahiran berikutnya.”
“Anak
itu tidak berumur panjang. Ia meninggal ketika berumur sebelas tahun
karena disentri. Bagaimana tidak? Anusnya selalu kotor karena campuran
kerak-kerak tahi yang mengering dan debu tanah tempat ia duduk, karena
celananya dibuat berlubang di bagian pantat dan tidak ada orang yang
mengurus kebersihannya. Ia tetap berkata kepadaku, ingin lahir kembali
sebagai anak gadis itu. Dan aku sekarang menjadi ari-arimu,” katanya
bercerita.
“Apakah aku adalah anak itu? Apakah ibu kita ini adalah gadis itu?”
“Tidak
tahu. Itu rahasia Sang Hidup. Sebelum nafas dihembuskan ke dalam
tubuhmu, kau hanyalah sesuatu. Tidak tahu siapa yang akan menghuni
tubuhmu. Sekarang jagad sedang membentuk wadahmu. Sampai saatnya nanti,
ketika Sang Hidup mendorongmu untuk lahir dengan memberikan hembusan
nafasNya, maka kau akan lupa siapa dan bagaimana masa lalumu. Kau telah
mempunyai wadah yang baru.”
“Suatu
kehidupan adalah berkat bagi yang memilikinya. Kehidupan yang harus
dijaga dengan baik. Lidah mempunyai kekuatan supata untuk mewujudkan apa
yang ada di alam pikiran. Hukum tabur tuai. Menabur angin akan menuai
badai. Menabur bunga akan menuai wangi.”
“Semula
kupikir, akan menyenangkan menjadi ari-ari calon bayi dari dua orang
yang saling mencintai. Aku capek menjadi ari-ari anak lumpuh dan bisu.
Tentunya akan lahir bayi cantik berpekerti santun dari rahim yang kaya
welas asih. Tetapi, aku tidak menyangka, kalau ternyata bapak dan ibu
kita sangat mahir bersumpah serapah. Aku pekak dengan maki-makian yang
mereka tabur. Tidakkah mereka takut mulut mereka akan menjadi kutuk?
Dayang Sumbi, Roro Jongrang, Dewi Kunti, semua perempuan-perempuan yang
memamah sumpah. Kenapa mereka juga melakukannya? Lalu mereka mulai lagi.
“Kamu
memang anjing! Berisik! Apakah tidak bisa diam? Kamu membuat semuanya
terbongkar! Sudah kukatakan jangan menelpon dan jangan sms. Kamu
mengerti nggak sih?! Ponselku disita dan dikantongi istriku terus,
tau?!”
“Biar! Biar! Kondisi
ini sudah berapa lama? Terus menerus begini. Mau apa?! Kamu yang kambing
dungu! Mengurus sebuah ponsel saja tidak becus! Aku mau muntah
mendengar cerita ponsel disita dan dikantongi terus menerus! Apa perlu
aku mengirim ponsel satu container? Makan tuh ponsel! Kalau perlu
sumpalkan ponsel itu ke mulutnya!”
“Katanya, kamu tidak tahu malu merebut suami orang.”“Suaminya yang mau sama aku!”
“Siapa bilang aku mau sama kamu?”
“Buktinya kamu mencariku!”
“Ini kamu yang mencari-cari aku!”
“Aku hamil! Ini masalah jabang bayimu!”
“Sudah
kukatakan..., kemungkinan terburuk apa pun yang akan terjadi, jangan
sampai kesalahan itu ada di pihakku. Kamu jangan mempersulit aku. Ini
masalah harga diriku.”
“Baiklah..., kalau kau tidak mau anak ini, buang saja...beres...”Lalu kurasakan tubuh yang kuhuni bergetar karena isak.
Si
ari-ari berkata, “begitulah bapak kita..., ia kambing tapi
menggonggong. Si dungu tua dan bebal. Ia menyuruh ibu kita diam, tetapi
ia sendiri melolong-lolong di sepanjang lorong menyeruduk semua gentong.
Tetapi sesungguhnya ia jenius sekali. Ia bisa seperti kalong membolak
balik cerita dari ujung ke ujung, atas ke bawah dijungkirkan sehingga
kedengarannya masuk akal. Kaki di atap dan kepala di kolong. Walau pun
salah dan bohong ia tetap berlaku seperti cukong padahal sebetulnya
kantong kosong.”
“Begitu juga
dengan istrinya. Ia seperti kingkong. Suka menjerit, melempar,
menendang dan membanting. Mulutnya seperti jerangkong. Tukang mengadu
kambing dan jual beli omong kosong. Bibir atasnya sampai ke langit dan
bibirnya bawahnya sampai ke samudra. Ia bisa menghisap apa saja termasuk
menghisap uang sampai dompet bolong. Sebetulnya mereka adalah pasangan
yang sempurna. Dua sejoli yang kompak kongkalikong. Banyak yang
menertawakan. Tetapi mereka tidak pernah malu karena wajahnya sudah
pindah ke bokong. Bagi mereka, itu adalah prestasi yang seharusnya
disokong dan didorong.”
Rahim
yang kuhuni rasanya sesak menggelegak oleh amarahku yang meledak-ledak.
Aku merasa seperti Hanoman, kera kecil yang lahir dan dibesarkan oleh
alam. Aku hanya anak bajang yang jauh dari sempurna, tak kuasa memilih
kehidupanku. Sang Hidup lah yang memilihku tumbuh dari benih laki-laki
yang otaknya membusuk karena hanya mencari untung, menang dan benar
semata. Sang Hidup lah yang menyemaiku menempel di dinding rahim yang
terpilin seperti cucian, terperas seperti orange juice di juicer,
teraduk seperti adonan di mixer. Rahim ini sangat tidak nyaman karena
setiap saat digoncangkan oleh isak dan gumpalan rasa kecewa yang menohok
beku tetapi tidak bisa mencair.
Kurasakan
sedu sedan yang disimpan dalam tiap hela nafas ibuku. Karena ia
mencintai bapakku tanpa berkesudahan. Seluruh hatinya habis tak tersisa
sampai ia menjadi penikmat lara merana papa. Setiap denyar darahnya
hanya mengalirkan perih ke aku yang mulai membentuk. Bagaimana aku tidak
merasakan perih yang sama menikamku sehingga lelah untuk menjadi embrio
yang sempurna? Tiba-tiba kurasakan ada yang menyedotku dengan sangat
keras. Dengung vacum cleaner mengaung-gaung memaksaku untuk lepas dari
dinding rahim tempat aku menempel. Menarikku dari placenta tempat aku
bernafas. Memisahkanku dengan ari-ariku. Menjadikan aku satu kesatuan
dengan kuman dan kutu busuk. Darah mengelegak. Air membuncah. Jemariku
gelalapan. Aku menggeliat, menggapai, menendang, memegang. Oh, begitu
teganyakah ibuku?
Kata Sang
Hidup, Tuhan di dunia adalah ibu. Aku baru saja hendak menghirup udara
untuk memenuhi paru-paruku setelah bersemayam di rahim yang penuh
gejolak. Aku menghisap sari tubuhnya. Aku mahluk bernyawa di dalam
tubuhnya. Aku hanya dibentuk dari sebiji kacang hijau kecil yang tidak
berdaya dan sangat tergantung kepadanya. Tetapi ia sekarang ingin
mencungkilku! Sedotan itu menderu-deru seperti baling-baling pesawat
tempur. Aku terputar-putar dan terkocok-kocok seperti di dalam mesin
cuci. “Ia kuat. Posisinya sulit sekali,” kudengar suara seseorang. Sudah
pasti!
Sang Hidup memberiku
cikal bakal kehidupan yang sangat berharga. Sudah seharusnya aku
mempertahankannya. Ini adalah hidupku, nafasku, tubuhku, rohku. Aku satu
kesatuan dari kakang kawah, adi ari-ari, getih (darah) dan puser
(pusar) yang diberikan Sang Jagad. Biarkan sempurna sampai pada saatnya.
Jangan dicungkil, jangan disedot, jangan dihisap, jangan dibuang. Aku
memang lahir dari sebuah dosa. Jangankan bapak dan ibuku yang manusia
biasa, sang begawan Wisrawa pun menyetubuhi Dewi Sukesi, idaman anaknya.
Cikal bakal angkara murka muncrat dari sana. Walau pun Dewi Sukesi
lahirkan darah yang menjadi Rahwana, telinga yang menjadi Kumbakarna,
dan kuku yang menjadi Sarpaneka. Suatu dosa yang bulat utuh. Tetapi Dewi
Sukesi tidak memblender anak-anaknya yang lahir dari pikiran, ucapan
dan tindakan yang buruk.
Biarkan
aku menjadi utuh dari bagian jagad, ibu..., walau pun aku terbentuk
dari segumpal penyesalanmu dan tumpukan sumpah serapah. Apa pun
bentukku, aku anakmu. Apa pun rupaku, akulah bagianmu dan laki-laki
berotak busuk itu. Jangan biarkan aku juga membusuk laksana zombie. Aku
ingin mekar seperti fajar. “Ini sudah saatnya! Tetapi dia tidak mau
bekerja sama. Ia bisa membahayakan ibunya. Lihat, ibunya sudah tidak
bernafas.”
Apa?! Aku tersentak.
“Inikah
saatnya?” aku bertanya kepada ari-ariku. Ari-ari ku tidak menjawab.
Tetapi ia bergelung memelukku menjadi satu bagian denganku. Ia empuk dan
hangat, membuatku merasa lebih tenang. Setidaknya, aku tidak merasa
sendiri menyongsong kehidupan. Aku memejamkan mata. Pasrah dan menyatu
dengan Sang Hidup. Air kehidupan ibuku yang menjadi saudaraku kakang
kawah (ketuban) dan getih (darah) pun membuncah. Placenta yang melilit
terlepas menemaniku menjadi pusarku. Tidak ada ejanan dan kontraksi lagi
karena rahim ini sudah terlalu lelah. Yang terasa sedotan alat seperti
vacum cleaner itu semakin kuat. Lalu ada tenaga dashyat yang mendorong
pantatku. Dari sebuah papan seluncur aku meluncurrrrrrrr....
Bukkkkk...“Astaga! Ia berkepala kambing!!!” suara-suara gaduh.
Sepasang tangan cepat mengangkat kakiku ke atas dan menepuk pantatku.
Ari-ariku berkata. “Cepat! Bersuaralah..., hidupmu dimulai di sini...”
“Aungggg....” aku melolong.
Aku moksa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar