Senin, 04 Maret 2013

cerpen aborsi


Aku lahir dari rahim malam yang menyelusuri lorong kegelapan sebuah vagina . Hasil persenggamaan penis yang menyemburkan jutaan sperma ranggas yang berlomba menuju sebuah ovum matang. Spermatozoa gesit seperti kecebong pertama kali meretakkan kulit ovum seperti sebuah sendok mengetuk kulit telor setengah matang. Spermatozoa itu menyatu terkocok dengan ovum seperti adonan kue bolu yang mengembang tanpa membutuhkan tambahan maizena, mentega cair atau vanili. Sungguh adonan yang mengembang sempurna. Lalu adonan itu matang di dalam oven hangat yang disebut rahim. Maka namaku bukan lagi ‘adonan’. Tetapi disebut zygot.
Sebagai zygot muda, aku mengikuti semua gerak dinamis tubuh ibuku. Aku menyerap semua inti sari hidup darinya. Tetapi aku kerap mengisap sari-sari getir yang mengalir dari aorta darahnya, dari denyut jantungnya, dari kemarahannya yang menggumpal di hulu hati. Waktu terus membentukku menjadi embrio. Hampir lengkap anatomi tubuhku sehingga aku bukan sekedar bisa merasa. Tetapi juga mendengar segala sumpah serapah dan perdebatan yang ternyata kemudian berakhir dengan isak. Kurasakan isak itu lebih menyakitkan daripada jeritan.
Bila jeritan adalah kawah bergejolak yang kemudian meletus dan menyembur. Tetapi isak hanya seperti kepundan magma menggelegak yang menyesakkan. Siapa yang bisa tahan?
“Kamu bodoh! Bego! Tolol! Goblok!”
“Kamu dungu! Bebal!”
“Kamu anjing!”
Oh!
“Kamu kambing!”
Ah...
Maka aku bertanya kepada ari-ari yang menjadi kembaranku.
“Apakah ibu kita putri Dayang Sumbi yang begitu malas mengambil alat tenunnya yang terjatuh sehingga kawin dengan si Tumang, anjing dewa yang terkena supata?” Ari-ariku menjawab, “bukan. Ibu kita bukan Dayang Sumbi yang mengawini anjing. Justru ibu kita adalah anjing yang setia mengiringi gembala yang menggembalakan kambingnya. Dan salah satu kambing gembala itulah bapak kita. Dia adalah kambing paling bebal dan dungu. Ditarik kepalanya ia justru berjalan mundur, tetapi didorong untuk mundur, ia malah berjalan maju.” Aku takut, akan menjadi embrio macam apakah aku bila ibuku anjing dan bapakku kambing?
Si ari-ari seakan-akan tahu ketakutanku. Bukankah kami memang satu rasa. Maka ia berkata “lima belas tahun yang lalu aku adalah ari-ari seorang anak yang lumpuh dan bisu. Ia hasil persenggamaan dari bapak yang bisu dan ibu yang lumpuh. Di kampung itu, semua orang kasihan kepada si perempuan lumpuh itu dan berusaha mencarikan jodoh. Maka dijodohkannyalah dengan laki-laki bisu itu. Laki-laki bisu itu adalah seorang juru masak. Orang-orang berpikir, biar pun bisu, ia bisa bekerja mencari uang, dan dengan memiliki seorang istri, ia akan mendapatkan keturunan. Semoga anak mereka berdua terlahir sempurna dan bisa
menjadi sandaran hari tua. Tetapi entah kutuk apa yang menimpa. Tidak tahu karma apa yang berbuah. Anak mereka lumpuh sekaligus bisu. Sampai usia belasan tahun tidak bisa bicara dan tidak bisa berjalan. Karena ibunya lumpuh, tidak bisa mengurusnya dengan leluasa, maka agar tidak merepotkan, orang-orang kampung membuatkan celana yang robek di bagian pantatnya. Jadi bila ia ingin berak, kotorannya akan keluar sendiri dari bagian yang sobek itu tanpa perlu repot berganti-ganti celana. Setiap hari ia tetap bermain di tanah kotor dengan pantat melekat di tanah bercampur kotoran yang belum dibersihkan. Bahkan kadang, saat tidur pun, ia cuma dipindahkan ke balai-balai, saat ayahnya pulang
kecapekan.”
“Anak itu mahir meludahi orang. Karena hampir semua orang kampung mengolok-oloknya. Orang-orang kampung menghinanya karena dia tidak bisa bicara dan cuma bisa merangkak. Tidak ada satu pun anak-anak seusianya mau bermain dengannya. Kalau pun ada, juga hanya sekedar mengejeknya dan melemparinya dengan kerikil. Terkadang ada tetangga memberinya nasi sisa. Tetapi lebih banyak bukan karena kasihan tetapi karena menghinanya. Dia bukan anak dewa. Jadi sudah tentu dia bisa marah. Tetapi ia tidak bisa bicara. Maka ia mulai belajar meludahi orang-orang yang mengejeknya dengan mata seperti bara. Ia meludahi anak-anak yang melemparinya dan orang-orang yang menertawakannya, juga meludahi nasi sisa yang diberikan untuknya. Semakin lama ia semakin pandai meludah. Ia bisa meludah cukup jauh dan mengenai tubuh orang yang dijadikannya sasaran. Maka orang-orang semakin mempermainkannya. Orang-orang mengejeknya, lalu lari untuk mengukur kemampuannya meludahnya sampai sejauh mana.”
“Suatu hari, seorang gadis lewat di kampung itu dan melihatnya. Ia berbelas iba dan memberikan uang jajan untuk membeli kue atau permen. Tetapi karena sudah terbiasa dihina maka ketika gadis itu mendekatinya, ia langsung meludahi gadis itu. Gadis itu terperanjat dan melompat mundur. Serentak orang-orang kampung yang duduk-duduk hendak memukuli anak itu. Tetapi si gadis mencegahnya. Akhirnya orang-orang kampung memaki-makinya sebagai anak bisu lumpuh yang tidak tahu diri.”
“Anak itu menangis dan berkata kepadaku bahwa ia sangat tahu diri. Yang tidak tahu diri adalah orang-orang kampung yang menghinanya. Ia tahu bahwa ia bisu dan lumpuh. Ia tahu bahwa ayah dan ibunya juga sepasang manusia cacat. Tetapi apakah ia bisa memilih ia akan menjadi apa dan harus lahir seperti apa? Lalu ia berkata, kalau ia boleh memilih, ia ingin menjadi anak gadis itu di kelahiran berikutnya.”
“Anak itu tidak berumur panjang. Ia meninggal ketika berumur sebelas tahun karena disentri. Bagaimana tidak? Anusnya selalu kotor karena campuran kerak-kerak tahi yang mengering dan debu tanah tempat ia duduk, karena celananya dibuat berlubang di bagian pantat dan tidak ada orang yang mengurus kebersihannya. Ia tetap berkata kepadaku, ingin lahir kembali sebagai anak gadis itu. Dan aku sekarang menjadi ari-arimu,” katanya bercerita.
“Apakah aku adalah anak itu? Apakah ibu kita ini adalah gadis itu?”
“Tidak tahu. Itu rahasia Sang Hidup. Sebelum nafas dihembuskan ke dalam tubuhmu, kau hanyalah sesuatu. Tidak tahu siapa yang akan menghuni tubuhmu. Sekarang jagad sedang membentuk wadahmu. Sampai saatnya nanti, ketika Sang Hidup mendorongmu untuk lahir dengan memberikan hembusan nafasNya, maka kau akan lupa siapa dan bagaimana masa lalumu. Kau telah mempunyai wadah yang baru.”
“Suatu kehidupan adalah berkat bagi yang memilikinya. Kehidupan yang harus dijaga dengan baik. Lidah mempunyai kekuatan supata untuk mewujudkan apa yang ada di alam pikiran. Hukum tabur tuai. Menabur angin akan menuai badai. Menabur bunga akan menuai wangi.”
“Semula kupikir, akan menyenangkan menjadi ari-ari calon bayi dari dua orang yang saling mencintai. Aku capek menjadi ari-ari anak lumpuh dan bisu. Tentunya akan lahir bayi cantik berpekerti santun dari rahim yang kaya welas asih. Tetapi, aku tidak menyangka, kalau ternyata bapak dan ibu kita sangat mahir bersumpah serapah. Aku pekak dengan maki-makian yang mereka tabur. Tidakkah mereka takut mulut mereka akan menjadi kutuk? Dayang Sumbi, Roro Jongrang, Dewi Kunti, semua perempuan-perempuan yang memamah sumpah. Kenapa mereka juga melakukannya? Lalu mereka mulai lagi.
“Kamu memang anjing! Berisik! Apakah tidak bisa diam? Kamu membuat semuanya terbongkar! Sudah kukatakan jangan menelpon dan jangan sms. Kamu mengerti nggak sih?! Ponselku disita dan dikantongi istriku terus, tau?!”
“Biar! Biar! Kondisi ini sudah berapa lama? Terus menerus begini. Mau apa?! Kamu yang kambing dungu! Mengurus sebuah ponsel saja tidak becus! Aku mau muntah mendengar cerita ponsel disita dan dikantongi terus menerus! Apa perlu aku mengirim ponsel satu container? Makan tuh ponsel! Kalau perlu sumpalkan ponsel itu ke mulutnya!”
“Katanya, kamu tidak tahu malu merebut suami orang.”
“Suaminya yang mau sama aku!”
“Siapa bilang aku mau sama kamu?”
“Buktinya kamu mencariku!”
“Ini kamu yang mencari-cari aku!”
“Aku hamil! Ini masalah jabang bayimu!”
“Sudah kukatakan..., kemungkinan terburuk apa pun yang akan terjadi, jangan sampai kesalahan itu ada di pihakku. Kamu jangan mempersulit aku. Ini masalah harga diriku.”
“Baiklah..., kalau kau tidak mau anak ini, buang saja...beres...”
Lalu kurasakan tubuh yang kuhuni bergetar karena isak.
Si ari-ari berkata, “begitulah bapak kita..., ia kambing tapi menggonggong. Si dungu tua dan bebal. Ia menyuruh ibu kita diam, tetapi ia sendiri melolong-lolong di sepanjang lorong menyeruduk semua gentong. Tetapi sesungguhnya ia jenius sekali. Ia bisa seperti kalong membolak balik cerita dari ujung ke ujung, atas ke bawah dijungkirkan sehingga kedengarannya masuk akal. Kaki di atap dan kepala di kolong. Walau pun salah dan bohong ia tetap berlaku seperti cukong padahal sebetulnya kantong kosong.”
“Begitu juga dengan istrinya. Ia seperti kingkong. Suka menjerit, melempar, menendang dan membanting. Mulutnya seperti jerangkong. Tukang mengadu kambing dan jual beli omong kosong. Bibir atasnya sampai ke langit dan bibirnya bawahnya sampai ke samudra. Ia bisa menghisap apa saja termasuk menghisap uang sampai dompet bolong. Sebetulnya mereka adalah pasangan yang sempurna. Dua sejoli yang kompak kongkalikong. Banyak yang menertawakan. Tetapi mereka tidak pernah malu karena wajahnya sudah pindah ke bokong. Bagi mereka, itu adalah prestasi yang seharusnya disokong dan didorong.”
Rahim yang kuhuni rasanya sesak menggelegak oleh amarahku yang meledak-ledak. Aku merasa seperti Hanoman, kera kecil yang lahir dan dibesarkan oleh alam. Aku hanya anak bajang yang jauh dari sempurna, tak kuasa memilih kehidupanku. Sang Hidup lah yang memilihku tumbuh dari benih laki-laki yang otaknya membusuk karena hanya mencari untung, menang dan benar semata. Sang Hidup lah yang menyemaiku menempel di dinding rahim yang terpilin seperti cucian, terperas seperti orange juice di juicer, teraduk seperti adonan di mixer. Rahim ini sangat tidak nyaman karena setiap saat digoncangkan oleh isak dan gumpalan rasa kecewa yang menohok beku tetapi tidak bisa mencair.
Kurasakan sedu sedan yang disimpan dalam tiap hela nafas ibuku. Karena ia mencintai bapakku tanpa berkesudahan. Seluruh hatinya habis tak tersisa sampai ia menjadi penikmat lara merana papa. Setiap denyar darahnya hanya mengalirkan perih ke aku yang mulai membentuk. Bagaimana aku tidak merasakan perih yang sama menikamku sehingga lelah untuk menjadi embrio yang sempurna? Tiba-tiba kurasakan ada yang menyedotku dengan sangat keras. Dengung vacum cleaner mengaung-gaung memaksaku untuk lepas dari dinding rahim tempat aku menempel. Menarikku dari placenta tempat aku bernafas. Memisahkanku dengan ari-ariku. Menjadikan aku satu kesatuan dengan kuman dan kutu busuk. Darah mengelegak. Air membuncah. Jemariku gelalapan. Aku menggeliat, menggapai, menendang, memegang. Oh, begitu teganyakah ibuku?
Kata Sang Hidup, Tuhan di dunia adalah ibu. Aku baru saja hendak menghirup udara untuk memenuhi paru-paruku setelah bersemayam di rahim yang penuh gejolak. Aku menghisap sari tubuhnya. Aku mahluk bernyawa di dalam tubuhnya. Aku hanya dibentuk dari sebiji kacang hijau kecil yang tidak berdaya dan sangat tergantung kepadanya. Tetapi ia sekarang ingin mencungkilku! Sedotan itu menderu-deru seperti baling-baling pesawat tempur. Aku terputar-putar dan terkocok-kocok seperti di dalam mesin cuci. “Ia kuat. Posisinya sulit sekali,” kudengar suara seseorang. Sudah pasti!
Sang Hidup memberiku cikal bakal kehidupan yang sangat berharga. Sudah seharusnya aku mempertahankannya. Ini adalah hidupku, nafasku, tubuhku, rohku. Aku satu kesatuan dari kakang kawah, adi ari-ari, getih (darah) dan puser (pusar) yang diberikan Sang Jagad. Biarkan sempurna sampai pada saatnya. Jangan dicungkil, jangan disedot, jangan dihisap, jangan dibuang. Aku memang lahir dari sebuah dosa. Jangankan bapak dan ibuku yang manusia biasa, sang begawan Wisrawa pun menyetubuhi Dewi Sukesi, idaman anaknya. Cikal bakal angkara murka muncrat dari sana. Walau pun Dewi Sukesi lahirkan darah yang menjadi Rahwana, telinga yang menjadi Kumbakarna, dan kuku yang menjadi Sarpaneka. Suatu dosa yang bulat utuh. Tetapi Dewi Sukesi tidak memblender anak-anaknya yang lahir dari pikiran, ucapan dan tindakan yang buruk.
Biarkan aku menjadi utuh dari bagian jagad, ibu..., walau pun aku terbentuk dari segumpal penyesalanmu dan tumpukan sumpah serapah. Apa pun bentukku, aku anakmu. Apa pun rupaku, akulah bagianmu dan laki-laki berotak busuk itu. Jangan biarkan aku juga membusuk laksana zombie. Aku ingin mekar seperti fajar. “Ini sudah saatnya! Tetapi dia tidak mau bekerja sama. Ia bisa membahayakan ibunya. Lihat, ibunya sudah tidak bernafas.”
Apa?! Aku tersentak.
“Inikah saatnya?” aku bertanya kepada ari-ariku. Ari-ari ku tidak menjawab. Tetapi ia bergelung memelukku menjadi satu bagian denganku. Ia empuk dan hangat, membuatku merasa lebih tenang. Setidaknya, aku tidak merasa sendiri menyongsong kehidupan. Aku memejamkan mata. Pasrah dan menyatu dengan Sang Hidup. Air kehidupan ibuku yang menjadi saudaraku kakang kawah (ketuban) dan getih (darah) pun membuncah. Placenta yang melilit terlepas menemaniku menjadi pusarku. Tidak ada ejanan dan kontraksi lagi karena rahim ini sudah terlalu lelah. Yang terasa sedotan alat seperti vacum cleaner itu semakin kuat. Lalu ada tenaga dashyat yang mendorong pantatku. Dari sebuah papan seluncur aku meluncurrrrrrrr....
Bukkkkk...
“Astaga! Ia berkepala kambing!!!” suara-suara gaduh.
Sepasang tangan cepat mengangkat kakiku ke atas dan menepuk pantatku.
Ari-ariku berkata. “Cepat! Bersuaralah..., hidupmu dimulai di sini...”
“Aungggg....” aku melolong.
Aku moksa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar