Senin, 04 Maret 2013

cerita tragedi

Saat jarum pendek jam telah lama meninggalkan angka empat, sedikit lewat dari angka lima, menuju angka enam, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke angka tujuh, dan—ehm, yang pasti semua orang sudah tahu urutan angka di jam dinding jadi tak perlu diceritakan lagi. Intinya, di sore hari menjelang musim hujan, saat kebanyakan mahasiswa telah buru-buru meninggalkan kampus karena tidak ingin kehujanan, beberapa anak penghuni Labtek V masih betah berdiam di ruang terujung lantai empat. Mereka seolah memperebutkan posisi juru kunci sekretariat dua himpunan.

Selewat minggu “garis kematian”, seharusnya tidak ada alasan khusus untuk tinggal lebih lama di kampus dan memacari laptop masing-masing, tapi sebaliknya, minggu “garis kematian” malah membuat sebagian mahasiswa merasa kalimat “kampusku, rumahku” makin nyata. Dan, tidak perlu ditanya, sindrom anti-sosial pun makin merajalela jika laptop sudah menjadi bagian hidup.

“Wih, gila! Macam keren!” Komentar yang dilontarkan mahasiswa pria berjaket hitam panjang bak jubah Neo dari The Matrix itu memecah ketenangan dalam ruangan. Tanpa melepaskan pandangan dari laptopnya, ia mengubah posisi duduk bersilanya menjadi berbaring, bertumpu pada kedua sikunya.

Hujan merintik turun di luar sementara langit menggelap dengan cepat. Absennya petir membuat para pemadat laptop melupakan kemungkinan laptop mereka terkena serangan fatal dari sang listrik alam.

“AAAAAAAHHHHHH!!!”

Alih-alih membeku oleh gelegar petir, mereka yang berdiam dalam ruang sekretariat terhenyak oleh teriakan manusia.

“Buset, siapa itu yang teriak?” tanya mahasiswa laki-laki berambut keriting ala Joker dari The Dark Knight, mantan anak Tim Olimpiade Komputer. “Ngeri amat teriakannya.”

“Gak tahu,” sahut si mahasiswa berjaket panjang, akhirnya mengangkat wajah. “Kayak kenal...”

Kata-katanya terpotong oleh kegelapan mendadak.

“Apa iniiii??? Pake acara mati lampu lagi!” Suara lain selain suara si mantan TOKI dan suara si berjaket mengalahkan derap hujan di genting.

“Ada yang bawa senter tak? Gue mau ke WC.”

“Bawa aja laptop elu. Kan masih nyala tuh layarnya.”

“Sampah! Ke WC bawa laptop! Pake hape aja.”

Dua-tiga sorot layar HP menyala, menyaingi cahaya dari layar laptop yang masih menyala karena keberadaan baterai.

“Ada yang mau ikutan ke WC gak?”

“Halaaah, masa iya ke WC rame-rame? Lu takut perlu ditemenin apa?”

“Kagaak! Siapa tahu kan, sekalian.”

Salah satu sorot layar HP bergerak menuju pintu ruangan dan menghilang dalam kegelapan saat pembawanya berbelok ke lorong panjang menuju WC.

“Eh, cui!” Teriakan dari si mahasiswa berambut ala Joker terdengar dari dalam ruang sekretariat. “WC yang lantai empat katanya rusak tuh! Ke lantai tiga aja!”

“Sip, sip!”

“Ah, payah ini kampus. Kok bisa mati lampu gelap total begini? Harusnya kan ada genset.” Wajah berkacamata si mahasiswa berjaket panjang nampak menyeramkan diterangi cahaya lampu dari layar laptopnya.

“Yah elah, dulu-dulu mati lampu juga gak ada genset.”

“AAAAAAAHHHHHHH!!!”

Pembicaraan di dalam ruangan terhenti seketika itu juga. Lagi-lagi teriakan.

“Itu suaranya si Kabul kan?”

“Iye. Kenape yah dia?”

“Masa iya jatuh dari tangga...?”

“Gak mungkin ah. Gak kedengeran suara orang jatoh.”

“Samperin?”

“Mendingan sih iya.”

Ketiga sosok yang tinggal di dalam ruangan beranjak dari tempat masing-masing, hendak keluar.

“Eh, elu di sini aja deh, Mi. Jagain laptop kita-kita. Gak lucu juga ilang pas mati lampu gini.”

“Woh, sip, sip.”

Satu orang yang kurus berkacamata, kembali ke dalam ruangan dan duduk menghadapi laptopnya sendiri sementara kedua temannya mengenakan sepatu dan dibantu penerangan dari telepon genggam masing-masing. Suasana lorong luar biasa gelap dan sepi, maklum ada batasan bahwa jam kuliah tersore yang diadakan oleh jurusan elit tersebut hanyalah sampai jam lima sore, tidak lebih. Tidak heran kalau sebagian besar dosen dan petugas yang biasa mengurusi perlengkapan kuliah sudah meninggalkan tempat. Pintu-pintu menuju ruangan berpenghuni puluhan komputer telah dikunci sejak setengah jam lalu, memperkuat alasan untuk pulang bagi mahasiswa tanpa laptop.

Mendadak, kegelapan dan suasana sepi menelan nyali. Langkah-langkah kaki terdengar lebih keras daripada seharusnya, bergema mengisi lorong. Cahaya dari dua telepon genggam terlalu minim untuk menjaminkan rasa aman bagi pembawanya.
“Ini ntar tinggal ditambahin efek suara 'kresek kresek' macem Silent Hill, pertanda ada yang deket-deket...”

Kresek kresek.

Langkah kaki terhenti.

Kresek kresek.

“Tapi 'kresek kresek'-nya bukan yang kayak gitu. Itu mah suara kantong plastik. Yang di Silent Hill kan suara radio...”

Krsk krsk.

“Itu suara radio tuh...”

“Kok serem sih, tadi gak ada sirine macam di gamenya kan?”

“Gak ada. Ngayal elu...”

Beberapa langkah kemudian, keduanya mencapai puncak tangga. Tak ada seorang pun di sana.

“Dah ke bawah kali yah si Kabul...”

“AAAHHHHHH!!!”

Teriakan lain, lebih jauh daripada dua teriakan lainnya, terdengar. Kemungkinan besar berasal dari dua atau tiga lantai di bawah.

“Ada apaan sih?”

Tanpa pikir panjang, kedua mahasiswa di puncak tangga itu menuruni satu anak tangga. Si mahasiswa berjaket panjang secara otomatis memegang pegangan tangga.

“AAAH! Apaan nih?!”

Ia mengangkat tangannya. Cahaya dari layar telepon genggam tersorot ke arahnya, menampilkan telapak tangannya yang berlumuran warna merah.

“Anjir!”

“Siaal!”

Sorot cahaya berkelebat menyusuri pegangan tangga yang berwarna merah dan terhenti pada secarik kertas yang kentara sekali ditempelkan secara darurat menggunakan selotip di dinding dekat pegangan tangga.

CAT MASIH BASAH

JANGAN DIPEGANG

“Asem! Pantesan dari tadi bau cat!”
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar