Kamis, 27 September 2012

Kisah Kota Metropolitan

Air Mata dibalik Kota Metropolitan


     Aku berjalan menyusuri jalan raya, melewati hiruk pikuk kota Jakarta. Bundaran HI yang tidak pernah sepi bahkan sebelum matahari terbit. Mobil-mobil mewah berlalu-lalang, klakson bersahut-sahutan. Setiap orang seperti terkejar oleh waktu. Seakan hari yang 24 jam itu tidak pernah cukup. Mereka, orang-orang kaya itu, hanya memikirkan leuntungan yang mengalir setiap harinya. Dua puluh juta rupiah bukanlah jumlah yang besar bagi mereka untuk berfoya-foya.
          Seakan membuyarkan lamunanku, seorang kakek tua membawa barang yang dipikulnya dipundak sebelah kanan. Tubuhnya kurus, terlihat pipinya yang cekung. Kutaksir umurnya tidak kurang dari 60 tahun. Jalannya tertatih-tatih. Ya, dia adalah tukang sol sepatu keliling. Tanpa kusadari, kudekati dia lalu kuikuti kemana kakinya melangkah. Keringat yang bercucuran didahinya, tidak membuat semangatnya surut. Kuberanikan diri untuk bicara padanya.
          "Assalamualaikum, Kek..."
          "Waalaikumsalam, Nak... Ada apa ya?" Raut wajahnya mencerminkan kebingungan namun guratan senyum tak lepas dari bibirnya.
          "Boleh saya ikut Kek?" ragu-ragu aku bertanya, berharap kakek tidak menganggapku orang gila atau semacamnya.
          "Ah, Neng ini anak orang kaya, masa mau ikut kakek?" Sang kakek tertawa kecil kemudian mengangguk dengan pasti, tanda ia setuju.
          Sebenarnya hatiku was-was. Apa boleh aku seperti ini? Berjalan mengenakan seragam sekolah, kemudian mengikuti kakek tua yang sama sekali tidak aku kenal? Ah, sudahlah, rasa penasaran dihatiku mengalahkan segalanya.
          terus kuikuti langkah kakek menuju perkampungan di bilangan Tanah Abang. Memasuki perumahan kumuh, becek dan seperti tak layak menjadi daerah tempat tinggal. Tanpa berkata sepatahpun, aku terus mengikuti sang kakek yang tidak menyerah berjalan selama hampir dua jam.
          "Sol sepatu.....!!" Berkali-kali sang kakek berteriak penuh harap ada paling tidak satu orang saja yang memanggilnya. Namun tampakhnya belum ada rezeki yang akan turun. Mendekati pukul sebelas sang kakek berbalik arah.
          "Neng, ngga cape? Ke rumah kakek ya. Makan dulu... istirahat"
          Entah perasaan apa itu, aku hanya dapat mnganggukdan mengikut tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Kebetulan perutku sudah lapar. Rumah sang kakek begitu menyedihkan. Berdinding kardus dan beratap triplek kayu dengan rembesan air dimana-mana.
          Pedih hati ini. Seratus delapan puluh derajat sangat berbeda dengan keadaan rumahku. Rumah dua tingkat dengan gaya klasik Eropa era pertengahan. Dalam segi ekonomi, keadaaanku sudah jauh dari cukup. Semua kebutuhan tertier sudah terpenuhi, sedangkan kakek? Untuk kebutuhan primer saja masih sulit untuk terpenuhi.
          Kulihat seorang nenek keluar menyambut kam. Wajahnya dipenuhi oleh senyuman. Perasaan tulus terpancar di wajahnya. Ia mengajak aku masuk dan duduk. Tak lama setelah kakek menjelaskan tentangku, nenek membawa segelas air putih dan semangkuk nasi berlauk garam.
          "Maaf Nek, apa kakek nenek setiap hari makan seperti ini?"
          Dengan lembut sang kakek mengangguk tanpa bicara sepatah katapun. Sang nenek mulai bicara.
          "Ya begitulah keadaan kami, ini sudah cukup untuk kami. Hidup di Jakarta tidak semudah hidup di kampung dulu. Kakek berpenghasilan tak tentu. dan nenek hanya mencoba untuk menjadi tukang cuci baju. Anak kami satu-satunya telah meninggal dunia. Meninggalkan seorang cucu. Walaupun begitu, Alhamdulillah, kami bahagia..."
          Terlihat mata nenek mulai berkaca-kaca. Sungguh mereka adalah orang-orang yang tegar. Aku, yang hanya dapat meminta tidak pernah berusaha.
          Tiba-tiba seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun masuk ke dalam rumah.
          "Ini cucu kami, Hendro...." Nenek memperkenalkan kepadaku.
          "Kakak.... ikut kita yuk ke kolong sana!" teriak Hendro dengan penuh semangat.
          Tanpa menunggu jawaban, Hendro kecil sudah menarik tanganku dan bergegas menuju tempat itu. Sang nenek dengan sabar mengikuti kami dari belakang.
          Sampainya kami, aku hanya dapat diam terpaku. Membeku. Kulihat anak-anak kecil berlarian diatas mobil-mobil bekas yang sudah rusak. Anak-anak kecil, terlantar, yang seharusnya mereeka mendapat pendidikan yang layak hanya dapat berkumpul di tempat ini, seraya berharap dapat membatu keluarga mereka dengan menjadi pengamen bahkan kuli kasar.
          "Hooooiii! Ada kakak SMA nih!!! Kumpul... Kumpul..!! " Hendro kecil masih teteap bersemangat.
          Terlihat anak-anak itu berlarian ke arah ku. Mereka berteriak satu sama lain. Tampaknya tak banyak orang seperti ku datang ke tempat mereka.
          "Kak... kami mohon kak, kami sebenarnya ingin sekolah. Walaupun kami tau kita mungkin susah untuk sekolah, tapi paling tidak kami ingin bisa membaca dan berhitung... Tolomng kak... Ajarkan kami..."
          Seketika suasana menjadi hening. Mereka tampak menunggu jawaban dariku. Hati ini tidak kuat rasanya. Tampa berfikir panjang, aku meng-iya-kan. Terdengar teriakan-teriakan anak kecil yang senang. Mereka berkumpul menjadi lingkaran lengkap dengan pensil dan kertas-kertas bekas.
          Dengan sabar, aku mengajari mereka huruf dan angka. Banyak warga yang datang untuk melihat aktifitas kami. Disela belajar, kami juga banyak bermain. Sang nenek terus memperhatikan kami dengan senyum bahagia terpancar di wajahnya.
         Di sela-sela aktifitas aku kembali merenung dan berfikir. Inilah hal yang kucari. Uang dan segala kemewahan seketika hilang dari benakku. Muncul perasaan bahaga. Sulit untuk kujelaskan, tapi hati ku ada disini, dianatara tawa bahagia anak kacil. Diantara lingjungan yang tidak pernah menyerah menghadapi kerasnya hidup. Inilah cintaku sesungguhnya. Cintaku terhadap sesama manusia.
          Ya Allah, apakan Engkau melihat ini? Begitu bahagia dapat saling berbagi. Di sinilah cinta itu tumbuh. Hatiku perlahan luluh. Tak terasa air mataku mulai jatuh. Kulihat nenek masih setia menunggu. Kuberlari kearah nenek dan kupeluk dia. Perlahan ia membelai kepalaku. Hangat rasanya.
          Disini di tempat ini inilah hidupku sesungguhnya. Keluarga. Saling berbagi kebahagiaan satu sama lain. Aku bersujud ketika itu, mengucapkan rasa syukurku atas apa yang telah kudapat selama ini. Kini aku bertekad untuk meengabdikan diriku untuk mengajar anak jalanan. Takkan kusia-siakan sekolahku kini. HIdupku sangat berharga.
          Kucari kakek tadi, aku mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya. Keluarganya menjadi contoh untukku. Bagaimana kita hharus berjuang dan mensyukuri hidupku. Kuserahkan semua uangku kepadanya. kini uang bukanlah hal terpenting untukku. Seratus ribu untukku lebih berarti tuk mereka.
          Ketika aku pulang, kuutarakn maksudku ke Ayah dan Ibu. Reaksi mereka diluar dugaanku. Dukungan penuh dari mereka membuatku semangat untuk terus berjuang.
          Kini, setiap kupulang sekolah ataupun libur, kusempartkan datang ke tempat itu dan mengajar. Inilah hidupku kini. Terimakasih kakek.... engkau mengajarkan aku tentang arti hidup ini. kebagiaan tertinggiadalah ketika kita mensyukuri apapun yang kita dapat dan saling mencintai dan berbagi kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar